Work From Home, Enak Nggak?

Aku pengen update, tapi nggak mau panjang-panjang karena nggak ada waktu, huhu…

Yaudah, kali ini curhat aja tentang pekerjaan.

Dari dulu sejak kuliah, aku sama temen-temen geng rumpiku suka berandai-andai, mau kerja apa nantinya setelah lulus kuliah. Mengingat, 3 dari 4 orang nggak becus kuliah, jadi kita kayak udah sadar diri dan bikin plan B gitu. (3 orang itu, tentu aku salah satunya)

Yang paling pinter dan terniat kuliah pengen jadi dosen yang cantik, harus pake kata cantik.

Yang paling sosialita pengen kerja kantoran di Jakarta.

Yang paling tinggi mobilitasnya, pengen kerja jadi pegawai bank, dia suka hal-hal yang riweuh.

Terakhir yang paling mageran, yaitu aku, pengen kerja jadi penulis kataku dulu, content writer kek, jurnalis lepas kek, apa kek yang berhubungan dengan jurnalistik.

Rupanya, keinginan yang sesuai kepribadianku ini beneran menjadi kenyataan. Aku pernah jadi wartawan, pernah jadi content writer, dan sekarang jadi editor di sebuah perusahaan media monitoring.

Pekerjaanku nggak mengharuskan aku pergi ke kantor, jadi ya makin mager-lah aku di rumah. Kerja dengan seragam daster tiap hari. Nggak usah pake make up, soalnya nggak ketemu orang lain kecuali suami. Selain suami, mungkin orang yang sering kutemui adalah bapak driver ojol yang nganterin orderan makananku. Aku mager banget masak di tengah pekerjaan, kalo lagi nggak mager ya menunya paling cuma telor ceplok, nasgor, sama mie goreng.

Kalau lagi suntuk di rumah, aku sering kerja di cafe. Duduk sendirian ditemani secangkir kopi. Kadang juga kerja di cafe bareng suami. Suami juga bisa kerja remote juga kayak aku, tapi dia masih sering ke kantor. 

Banyak temen yang bilang “Ah, kerjaanmu enak, nggak harus ngantor”

Hei, aku ini masih termasuk makhluk sosial, aku butuh interaksi. Butuh ketemu manusia lain. Betapa stresnya kerja di rumah, sendirian doang sambil dengerin Kpop dari seharian. Kerja di rumah sehari dua hari tiga hari itu enak, tapi setelah hampir 5 tahun ya bosen juga.

Makanya aku sering kerja di cafe. Kerja di cafe jangan diartikan cuma buat gaya-gayaan aja. Biar bisa foto-foto dan upload di medsos. Ini cara kami para remote worker melepas kepenatan. Biar ketemu manusia lain di cafe.

Cafe langganan kami di Prada Coffee Kotabaru. Suami dan teman-temannya sering banget kerja remote disini. Sesekali kita ngobrol di sela-sela pekerjaan. Interaksi semacam inilah yang menjaga kewarasan kami. Apa jadinya hidup ini kalau cuma berhadapan sama laptop dan gadget aja sepanjang hari, seminggu nggak keluar aja, mood jadi cranky dan uring-uringan tanpa sebab, nggak sehat banget.

Orang secerewet aku ini, memang nggak bisa komunikasi cuma lewat chat aja, harus ada sesi rumpi-rumpinya. Hal lain yang menjagaku tetep sane adalah ketemuan ama temen, entah itu nongkrong jajan-jajan apa ngemall. 

Bulan-bulan kemarin itu, stress level kami lagi tinggi-tingginya kayaknya. Aku yang sakit dan abis operasi, masih dengan perban berminggu-minggu di leher, nggak bisa keluar rumah, kerjaan lagi banyak-banyaknya pula. Kerjaan suami pun lagi numpuk di bulan September November semua.

Ngafe, ngemall, jalan-jalan ke pantai, karaokean, semua udah dilakukan dan kayak nggak mempan gitu. Sudah waktunya kami break dari rutinitas sejenak tanpa laptop. Salah satu cara biar lepas dari laptop ya cuma mudik (karena nggak ada sinyal) atau jalan-jalan keluar kota. Karena akhir tahun udah berencana mudik, jadi kami memutuskan buat piknik aja ke Malang, sekalian jalan-jalan dalam rangka wedding anniversary. Nanti kuceritakan di postingan selanjutnya. 

Setelah melakukan pekerjaan yang sama setiap hari, otak sesekali butuh di-refresh gaes biar tetep waras. Komputer aja perlu direstart kan kalau udah ada tanda-tanda melemot. Intinya “kabeh gawean iku wang sinawang tok“, haha.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.